Selasa, 18 Oktober 2016

Makalah Hukum Lingkungan




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Lingkungan Hidup di Indonesia menyangkut tanah, air, dan udara dalam wilayah negara Republik Indonesia. Semua media lingkungan hidup tersebut merupakan wadah tempat kita tinggal, hidup serta bernafas. Media lingkungan hidup yang sehat, akan melahirkan generasi manusia Indonesia saat ini serta generasi akan datang yang sehat dan dinamis.
Pembangunan industri, eksploitasi hutan serta sibuk dan padatnya arus lalu lintas akibat pembangunan yang terus berkembang, memberikan dampak samping. Dampak samping tersebut berakibat pada tanah yang kita tinggali, air yang kita gunakan untuk kebutuhan hidup maupun udara yang kita hirup. Apabila tanah, air dan udara tersebut pada akhirnya tidak dapat lagi menyediakan suatu iklim atau keadaan yang layak untuk kita gunakan, maka pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup telah terjadi.

Pencemaran lingkungan hidup, bukan hanya akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat yang ada sekarang namun juga akan mengancam kelangsungan hidup anak cucu kita kelak. Oleh karena itu baik masyarakat, maupun pemerintah berhak dan wajib untuk melindungi lingkungan hidup.

UU Lingkungan Hidup No. 23 tahun 1997 adalah suatu produk pemerintah untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup sekaligus memberi perlindungan hukum bagi masyarakat agar selalu dapat terus hidup dalam lingkungan hidup yang sehat.

Upaya pemulihan lingkungan hidup dapat dipenuhi dalam kerangka penanganan sengketa lingkungan melalui penegakkan hukum lingkungan, dan dalm penegakan hokum lingkungan ada istilah tanggung jawab mutlak atau strict liability bagi pelaku pencemaran lingkungan dengan ketentuan tertentu.

B. Identifikasi Masalah

Bagaimana pelaksanaan prinsip tanggung jawab mutlak strict liability


BAB II
PEMBAHASAN
Hukum Lingkungan merupakan terjemahan dari beberapa istilah, yaitu "Environmental Law" dalam Bahasa Inggris, "Millieeurecht" dalam Bahasa Belanda, "Lenvironnement" dalam Bahasa Prancis, "Umweltrecht" dalam Bahasa Jerman, "Hukum Alam Seputar" dalam Bahasa Malaysia, "Batas nan Kapaligiran" dalam Bahasa Tagalog, "Sin-ved-lom Kwahm" dalam Bahasa Thailand, "Qomum al-Biah" dalam Bahasa Arab.

Banyaknya aliran dalam bidang hukum telah mengakibatkan banyak pengertian tentang hukum yang berbeda-beda. Oleh karenanya, untuk dapat menyamakan persepsi dalam membahas tentang pengertian hukum lingkungan, maka perlu disampaikan terlebih dahulu bahwa pada umumnya hukum itu adalah keseluruhan kumpulan peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama.

Mengutip dari Gatot P. Soemartono yang menyebutkan bahwa Pengertian hukum itu adalah keseluruhan peraturan tentang tingkah laku manusia yang isinya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat, yg pelaksanaan peraturan tersebut dapat dipaksakan dengan suatu sanksi oleh pihak yang berwenang. Dari uraian diatas mengenai pengertian hukum, jadi Pengertian Hukum Lingkungan ialah keseluruhan peraturan yang mengatur tentang tingkah laku orang tentang apa yang seharusnya dilakukan terhadap lingkungan, yg pelaksanaan peraturan tersebut dapat dipaksakan dengan suatu sanksi oleh pihak yang berwenang.

Sedangkan menurut Danusaputro Pengertian Hukum Lingkungan adalah hukum yang mendasari penyelenggaraan perlindungan dan tata pengelolaan serta peningkatan ketahanan lingkungan. Beliaulah yg membedakan antara hukum lingkungan modern yang berorientasi kepada lingkungan atau environment oriented law dan hukum lingkungan klasik yang berorientasi kepada penggunaan lingkungan atau use-ori-entedlaw.

Hukum lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma guna menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin, & dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya. Sebalikny, hukum lingkungan modern membicarakan ketentuan dan norma-norma guna mengatur perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi menjamin kelestarianya, agar dapat langsung scara terus-menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi-generasi mendatang.

Karena hukum lingkungan modern berorientasi kpada lingkungan, sehingga sifat & wataknya juga mengikuti sifat dan watak dari lingkungan sendiri, serta dengan demikian lebih banyak yang berguru pada ekologi. Dengan orientasi kpada lingkungan ini, kemudian hukum lingkungan modern memiliki sifat utuh mnyeluruh, artinya selalu berada dalam dinamika dengan sifat & wataknya. Sebalikny hukum lingkungan klasik bersifat sektoral dan sukar berubah.

Sebagai disiplin ilmu hukum yg sedang berkembang, sebagian besar materi hukum lingkungan merupakan bagian dari hukum administrasi, namun hukum lingkungan mengandung pula aspek hukum perdata, pidana, pajak, internasional dan penataan ruang.

Hukum lingkungan dikenal sebagai hukum gangguan (hinderrecht) yang bersifat sederhana dan mengandung aspek keperdataan. Lambat laun perkembanagannya bergeser ke arah bidang hukum administrasi, sesuai dengan peningkatan dalam masyarakat yang semakin komplek saja. Dari segi hukum lingkungan administrasi terutama muncul apabila keputusan penguasa yang bersifat kebijaksanaan dituangkan dalam bentuk penetapan (beschikking), contoh kasus hukum lingkungan : dalam prosedur perijinan, penentuan kualitas lingkungan, prosedur analisis yg mengenai dampak lingkungan dan sebagainya.

DASAR HUKUM LINGKUNGAN
Kepentingan Nasional adalah suatu cita-cita, sasaran yang bersifat umum dan abadi yang digunakan sebagai landasan suatu bangsa untuk bertindak. Dalam kaitan dengan pengelolaan hukum lingkungan, maka kepentingan nasional tercantum dalam pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yakni :
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup  orang banyak dikuasai oleh Negara.
(3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam pengelolaan cabang-cabang produksi, bumi, air dan kekayaan alam oleh Negara maka diperlukan strategi pengelolaan lingkungan tersebut agar tidak memberikan dampak terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup sehingga kelestarian lingkungan hidup tetap terjadi untuk kepentingan generasi saat ini dan masa depan.
Hak Negara untuk mengatur kekayaan Negara yang terkandung didalamnya  ini dijabarkan dalam UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup ( UULH ) sebagaimana diubah  dengan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ( UUPLH ) dan diubah lagi dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Hukum Acara Lingkungan adalah hukum yang menetapkan dan mengatur tata cara atau prosedur pelaksanaan hak dan kewajiban yang timbul karena adanya perkara lingkungan ( sebagai akibat terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan ). Didalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan dalam BAB XII Pasal 84 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 85 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 86 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 87 ayat (1), (2), (3) dan (4), yang pengaturannya secara konkrit akan ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan perundang undangan.
Hukum Perdata Lingkungan merupakan hukum antar perorangan yang merupakan hak dan kewajiban orang satu terhadap yang lain, maupun kepada Negara, khususnya dalam peran sertanya bagi pelestarian kemampuan lingkungan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur didalam BAB X tentang Hak, Kewajiban dan Larangan  Pasal 65 Ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69 ayat (1) dan (2), dan BAB XI tentang Peran Masyarakat Pasal 70 ayat (1), (2) dan (3).
Hukum Pidana Lingkungan menentukan perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dalam kaitannya dengan Lingkungan Hidup, siapa sajakah yang dapat dipidana dan menetapkan sanksi-sanksi tentang pelanggaranya. Didalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur dalam BAB XV tentang Ketentuan Pidana yaitu Pasal 97, Pasal 98 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 99 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 100 ayat (1) dan (2), Pasal 100 ayat (1) dan (2), Pasal 101, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 109, Pasal 110, Pasal 111 ayat (1) dan (2), Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116 ayat (1) dan (2), Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120 ayat (1) dan (2).

Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap Perusahaan yang bergerak dalam berbagai bidang kegiatan, diwajibkan melakukan hal-hal berikut ini.

a.       Perusahaan wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup ( Pasal 22 ayat (1),dan (2), Pasal 23 ayat (1) dan (2), Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26 ayat (1), (2), (3) dan (4), Pasal 27, Pasal 28 (1), (2), (3) dan (4), Pasal 29 ayat (1),
(2) dan (3), Pasal 30 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 31, Pasal 32 (1), (2) dan (3) dan pasal 33 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ). Analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan / atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaran usaha dan atau kegiatan
6
 ( Pasal 1 angka 11 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ). Hal-hal yang dianalisis meliputi:

1)      Iklim dan Kualitas Udara.
2)      Fisiologi dan Geologi.
3)      Hidrologi dan kualitas air.
4)      Ruang, lahan dan tanah.
5)      Flora dan Fauna.
6)      Sosial ( Demografi,  Ekonomi, Sosial Budaya ) dan Kesehatan Masyarakat.

b.  Setiap usaha dan / atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib Amdal, wajib memiliki Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup yang disebut UKL-UPL ( Pasal 34 ayat (1) dan (2), Pasal 35 ayat  (1), (2) dan (3) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ).

c.  Perusahaan wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun. Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun meliputi: Menghasilkan, Mengangkut, Mengedarkan, Menyimpan, Menggunakan dan atau Membuang BAB VII tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun serta Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun ( Pasal 58 ayat (1) dan (2), Pasal 59 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6) dan (7) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ).

Disamping kewajiban itu, perusahaan juga dilarang:
a.    Melanggar Baku Mutu dan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup ( Pasal 20 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5), Pasal 21 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ).

Adapun Peraturan-Peraturan yang berkaitan dengan Hukum Lingkungan Indonesia antara lain adalah sebagai berikut:

1.      UU No. 4 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
2.      UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Alam Hayati dan Ekosistemnya.
3.      UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
4.      UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
5.      UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
6.      UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
7.      PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
8.      PP No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran  Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.
9.      PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
10.  Dan masih banyak lagi peraturan yang berkaitan dengan Hukum Lingkungan.

AMDAL
AMDAL adalah singkatan dari Analisis Dampak Lingkungan. Pengertian AMDAL menurut PP No. 27 Tahun 1999 yang berbunyi bahwa pengertian AMDAL adalah Kajian atas dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan. AMDAL adalah analisis yang meliputi berbagai macam faktor seperti fisik, kimia, sosial ekonomi, biologi dan sosial budaya yang dilakukan secara menyeluruh. 

Alasan diperlukannya AMDAL untuk diperlukannya studi kelayakan karena dalam undang-undang dan peraturan pemerintah serta menjaga lingkungan dari operasi proyek kegiatan industri atau kegiatan-kegiatan yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Komponen-komponen AMDAL adalah PIL (Penyajian informasi lingkungan), KA (Kerangka Acuan), ANDAL (Analisis dampak lingkungan), RPL ( Rencana pemantauan lingkungan), RKL (Rencana pengelolaan lingkungan).  Tujuan AMDAL adalah menjaga dengan kemungkinan dampak dari suatu rencana usaha atau kegiatan sehingga.

Tujuan AMDAL merupakan penjagaan dalam rencana usaha atau kegiatan agar tidak memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Adapun Fungsi AMDAL adalah sebagai berikut.. 
  • Bahan perencanaan pembangunan wilayah
  • Membantu proses dalam pengambilan keputusan terhadap kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan
  • Memberikan masukan dalam penyusunan rancangan rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan
  • Memberi masukan dalam penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
  • Memberikan informasi terhadap masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan
  • Tahap pertama dari rekomendasi tentang izin usaha
  • Merupakan Scientific Document dan Legal Document
  • Izin Kelayakan Lingkungan
Dilihat dari fungsi AMDAL yang sangat menjaga rencana usaha dan/atau kegiatan usaha sehingga tidak merusak lingkungan, maka terlihat begitu besar Manfaat AMDAL. Manfaat AMDAL antara lain sebagai berikut... 

1. Manfaat AMDAL bagi Pemerintah 
  •  Mencegah dari pencemaran dan kerusakan lingkungan. 
  •  Menghindarkan konflik dengan masyarakat. 
  •  Menjaga agar pembangunan sesuai terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan. 
  •  Perwujudan tanggung jawab pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup. 
 2. Manfaat AMDAL bagi Pemrakarsa. 
  • Menjamin adanya keberlangsungan usaha. 
  • Menjadi referensi untuk peminjaman kredit. 
  • Interaksi saling menguntungkan dengan masyarakat sekitar untuk bukti ketaatan hukum. 
3. Manfaat AMDAL bagi Masyarakat
  •  Mengetahui sejak dari awal dampak dari suatu kegiatan. 
  •  Melaksanakan dan menjalankan kontrol. 
  • Terlibat pada proses pengambilan keputusan.


AZAS HUKUM LINGKUNGAN
Asas-asas hukum lingkungan Indonesia :
a.       Tanggung jawab Negara : Negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup masyarakat baik generaasi masa kini ataupun masa depan
b.      Kelestarian dan keberlanjutan : setiap orang memilki kewajiban dalam melestarikan lingkungan hidup yang ada
c.       Keserasian dan keseimbangan : pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan segala aspek dalam EKOSOSBUD dan perlindungan serta pelestarian ekosistem
d.      Keterpaduan : perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagia unsure atau menyinergikan berbagai komponen daerah
e.      Manfaat : segala usaha atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras dengan lingkungannya
f.        Kehati-hatian : ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan atau kegiatan karena keterbatasan penguasa ilmu pengetahuan dan teknologi bukan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan atau kerusakan lingkungan
g.       Keadilan : perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara prposional bagi setiap warga Negara ,baik lintas daerah,lintas generasi,maupun lintas gender.
h.      Ekoregion : perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam,ekosistem,kondisi geografis,budaya masyarakat setempat dan kearifan lokal
i.         Keanekaragaman hayati : perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu untuk mempertahankan keberadaan,keragaman,dan keberlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiriatas sumber daya alam nabati dan hewani dengan unsur non hayati di sekitarnya.
j.        Pencemar membayar : bagi pencemar wajib menaggung biata pemuliihan lingkungan
k.       Partisipatif : setiap anggota masyarakat didrorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,baik secara langsung maupun tidak langsung
l.         Kearifan local : perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat
m.    Tata kelola pemerintahan yang baik : perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi,transparansi,akuntabilitas,efisiensi,dan keadilan
n.      Otonomi daerah : pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri terhadap perlindungan dan pengelolaan  lingkungan hidup dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai NKRI.




Penegakan Hukum Lingkungan
Pembangunan disamping memberikan dampak positif berupa kesejahteraan, namun disisi yang lain juga menimbulkan dampak negatif yaitu terjadinya kerusakan atau tercemarnya lingkungan hidup. Gagasan hukum pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup menjadi kata kunci (key word) dalam pengelolaan lingkungan hidup yang mengintegrasikan pertimbangan lingkungan hidup dalam proses pembangunan. Oleh karena itu, apabila terjadi penurunan fungsi lingkungan hidup akibat perusakan dan/atau pencemaran lingkugan hidup, maka serangkain kegiatan penegakan hukum (law enforcement) harus dilakukan, dengan tujuan tidak hanya sekedar menjatuhkan sanksi kepada perusak atau pencemar lingkungan, tetapi tujuan yang paling pokoknya dalah untuk memulihkankemampuan lingkungan hidup tersebut dan berupaya meningkat-kan kuaitasnya.

Upaya pemulihan lingkungan hidup dapat dipenuhi dalam kerangka penanganan sengketa lingkungan melalui penegakkan hukum lingkungan. Penegakan hukum lingkungan merupakan bagian dari siklus pengaturan (regulatory chain) perencanaan kebijakan (policy planning) tentang lingkungan. Penegakan hukum lingkungan di Indonesia mencakup penataan dan penindakan (compliance and enforcement) yang meliputi bidang hukum administrasi negara, bidang hukum perdata dan bidang hukum pidana.

1. Penegakkan hukum lingkungan administratif, dimulai dengan mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh MENLH/pejabat yang ditunjuk MENLH, atau oleh Kepala Daerah/pejabat yang ditunjuk Kepala Daerah terhadap penaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup seperti persyaratan izin, BML dll, sebagaimana hal ini diatur dalam Pasal 22-24 UUPLH. Ada beberapa sanksi administrasi dalam Pasal 25-27 UUPLH yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha dan/atau kegiatan. Pertama, paksaan pemerintahan (bestuursdwang) untuk mencegah dan mengakiri terjadinya pelanggaran, atas beban biaya penanggungjawab usaha dan atau kegiatan yang wewenangnya ada pada Gubernur atau Bupati/Walikota. Kedua, terhadap pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sanksi pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan.

2. Penyelesaian secara perdata atas gugatan ganti kerugian dan pemulihan lingkungan hidup, dapat ditempuh melalui mekanisme ADR/diluar pengadilan) maupun di dalam pengadilan (Pasal 30 UUPLH) oleh masyarakat secara perorangan atau melalui gugatan perwakilan (class action), dan NGO serta instansi pemerintah yang bertanggungjawab dibidang pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 34, 35, 37 dan 38 UUPLH) untuk mewakili kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup atas ganti kerugian dan pemulihan lingkungan hidup. Terdapat perbedaan mendasar antara penyelesaian secara perdata yang terdapat dalam Pasal 34 dan 35 UUPLH. Pasal 34 ayat (1) UULH-97 menentukan dua kategori perbuatan melanggar hukum yaitu pencemaran lingkungan hidup (dalam arti turunnya kualitas lingkungan hidup: lihat Pasal 1 angka 12 UUPLH) dan perusakan lingkungan hidup (dalam arti lingkungan hidup tidak berfungsi lagi: lihat Pasal 1 angka 14 UUPLH), yang dapat menjadi alasan hukum untuk menuntut ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu (memulihkan fungsi lingkungan hidup) kepada penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan.

3. UUPLH menempatkan penerapan sanksi pidana sebagai upaya yang terakhir (ultimum remedium). Dalam penjelasan umum UUPLH terkandung suatu prinsip yang dikenal yaitu primary jurisdiction atau disebut sebagai asas subsidiaritas. Asas ini menegaskan bahwa hukum pidana baru dapat digunakan apabila: a) sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan tidak efektif; b) tingkat kesalahan pelaku relatif berat; dan c) menimbulkan keresahan masyarakat. Hal ini berarti bahwa sarana hukum lain harus dioptimalkan terlebih dahulu, sebelum diambil tindakan secara pidana atau diterapkannya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 40-47 UUPLH.

Pelaksanaan Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Strict Liability Pemerintah dan Masyarakat, Dalam Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Apapun sarana hukum yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa lingkungan, yang penting ada dua hal yang perlu untuk dibuktikan. Pertama, adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dalam arti hukum (dalam hal ini perlu dilakukan pengujian limbah terhadap ketentuan BML apakah masih berada dalam batas-batas BML/tidak). Kedua, adanya hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dengan penderitaan masyarakat dan/ atau rusaknya kualitas lingkungan hidup.

Membuktikan kedua hal tersebut tidaklah mudah. Diperlukan keterangan ahli dari berbagai disipilin ilmu (lingkungan, biologi, kimia, medis, ekonomi, hukum dll), sampel hukum dan laboratorium hukum. Keterlibatan para ahli akan sangat membantu untuk proses pembuktian ilmiah (scientific evidence) dan untuk menghitung kerugian masyarakat dan tingkat kerusakan/pencemaran lingkungan hidup, sehingga dapat ditentukan berapa biaya yang harus ditanggung oleh penanggungjawab usaha/kegiatan untuk mengganti kerugian masyarakat dan untuk memulihkan lingkungan hidup.

Pasal 34 tidak menunjuk kepada sistem pertanggungjawaban tertentu, maka untuk itu kandungan Pasal 34 ini dapat dikaitkan dengan Pasal 1365 BW sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatan melanggar hukum (onrechtsmatigedaad). Pasal 1365 BW ini menganut prinsip tanggungjawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault), tanpa adanya kesalahan, maka tidak akan timbul dasar untuk menuntut kerugian (NHT.Siahaan:2004:310-311).

Beban pembuktian untuk membuktikan adanya unsur kesalahan tersebut menurut Pasal 1865 BW merupakan kewajiban penggugat. Membuktikan adanya kesalahan tidaklah mudah, bahkan lebih menyulitkan karena harus lebih dahulu dibuktikan adanya hubungan sebab akibat (causality) antara perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dengan kerugian dari si penderita.

Dibutuhkan penjelasan yang bersifat ilmiah, teknis dan khusus untuk membuktikan hubungan kausal tersebut. Sehingga penerapan sistem pertanggungjawaban yang bersifat biasa tidaklah mencerminkan rasa keadilan. Kelemahan Pasal 34 tersebut, sebenarnya dapat diatasi dengan menerapkan ketentuan Pasal 35 ayat (1) UUPLH yang mengatur tentang tanggungjawab mutlak (strict liability) atas kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, menggunakan B3 dan/ atau menghasilkan limbah B3.

Berdasarkan Pasal 35 UUPLH tersebut, terdapat tiga kriteria bagi jenis kegiatan/usaha yang tunduk pada prinsip tanggungjawab mutlak, yaitu jenis kegiatan yang wajib Amdal, yang menggunakan B3 dan yang menghasilkan limbah B3 (Daud Silalahi:2001:45). Dalam penjelasan Pasal 35 ayat (1) dinyatakan bahwa tanggungjwab mutlak (strict liability) berarti unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian (liability without fault/tanggungjawab tanpa kesalahan) dan ketentuan pasal ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya didasarkan pada Pasal 1365 BW.

Hal ini berarti pihak tergugatlah yang harus membuktikan adanya hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dengan kerugian yang diderita oleh penggugat dan lingkungan hidup. Pasal 35 ayat (2) memberikan pengecualian penerapan prinsip tanggungjawab mutlak bilamana dapat dibuktikan bahwa pencemaran atau kerusakan lingkungan disebabkan oleh bencana alam atau peperangan; atau adanya keadaan terpaksa diluar kemampuan manusia; atau akibat tindakan pihak ketiga

Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan dengan kewajiban menbayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan atau pengrusakan lingkungan hidup.penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang dapat dibebaskan dari kewajiban membayar gantirugi, jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan atau pencemaran lingkungan hidup disebabkan salahsatu alas an ialah adanya bencana alam atau peperangan, adanya keadaan terpaksa diluar kemampuan manusia, atau adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau pengrusakan lingkungan hidup. Dalam hal terjadinya kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga maka pihak ketiga tersebut bertanggung jawab membayar gantirugi.

Pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability yakni unsure kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran gantikerugian. Ketentuan ini merupakan lex spesialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hokum pada umumnya. Besarnya nilai gantirugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud sampai batas tertentu adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan atau egitan yangbersangkutanatau telah tersedian dana lingkungan hidup

Pencemaran lingkungan hidup yang diatur dalam pasal 1 ayat 12 UU no 23 tahun 1997 ( Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya ) mempunyai pengertian luas dan berusaha menjaring perbuatan-perbuatan yang merusak tatanan lingkungan. Peraturan penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup apabila akan diruangkan kedalam bentuk undang-undang cara pengaturannya harus mengandung makna preventive dan revresif. Secara filsafat bahwa pengelolaan lingkungan hidup itu supaya dapat dinikmati oleh manusia pada generasi masa kini dan masa depan, maka ketentuan perlindungan terhadap masalah lingkungan hidup termasuk pula mencakup perlindungan korban dari pencemaranatau perusakan lingkungan

Berdasarkan pasal 34 tentang ganti rugi, dan pasal 35 tentang tanggung jawab mutlak pada UU no 23 tahun 1997, mencakup dua segi perlindungan, yaitu:

1. Perlindungan korban yang diderita perorangan

2. Perlindungan terhadap Negara yang menjadi korban pencemaran atau pengrusakan lingkungan hidup.

Ganti rugi terhadap korban dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Gantirugi yang diberikan kepada korban yang dibayar oleh pihak yang menyelenggarakan usaha dan kegiatan lingkungan tersebut.

2. Ganti rugi yang diberikan kepada Negara dalam ujud melakukan tindakan hukum tertentu sesuai dengan perintah hokum yang ditetapkan oleh hakim.

Bentuk dan jenis kerugian akibat pengrusakan dan pencemaran akan menentukan besarnya kerugian dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh pemerintah. Masalah gantirugi dengan melalui penelitian yang menyangkut aspek budaya, tentunya dapat masuk dalam ruang lingkup ganti rugi menurut hokum adat setempat. Hal ini mendasari adanya putusan Mahkamah Agung RI tanggal 22 November1958 (Reg. No.212 K/S.i.p/1958) yang memutuskan ganti rugi menurut hokum adat (DPM.Sitompul, 1989:35)












BAB III
PENUTUP

 Kesimpulan

Prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict Liability) merupakan prinsip pertanggung jawaban hukum (liability) yang telah berkembang sejak lama yang berawal dari sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam kasus ini Pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang menentukan, bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability jika penggunaan tersebut bersifat non natural atau di luar kelaziman, atau tidak seperti biasanya.

Pertanggung jawaban hukum konvensional selama ini menganut asas pertanggung jawaban erdasarkan kesalahan (liability based on fault), artinya bahwa tidak seorangpun dapat dikenai tanggung jawab jika pada dirinya tidak terdapat unsur-unsur kesalahan. Dalam kasus lingkungan dokrin tersebut akan melahirkan kendala bagi  hukum dipengadilan karena dokrin ini tidak mampu mengantisipasi secara efektif dampak dari kegiatan industri modern yang mengandung resiko-resiko potensial.

Pertanggung jawaban mutlak pada awalnya berkembang dinegara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon atau common law, walaupun kemudian mengalami perubahan perkembangan dibeberapa negara untuk mengadopsinya.

Beberapa negara yang menganut asas ini antara lain Inggris, Amerika, Belanda, Thailand. Di Indonesia asas ini dimuat dalam Pasal 35 UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal ini pengertian tanggungjawab mutlak/strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Dimana besarnya ganti kerugian yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.



Saran
Pada dasarnya kehidupan ini selaras seimbang antara segala sesuatu yang ada didalamnya, yaitu makhluk hidup ada manusia, hewan dan tumbuhan, dan semua benda mati yang dapat dimanfaatkan dan mempunyai peran dalam kehidupan ini. Yang membuat lingkungan rusak dan tidak tertata lagi selain sang pencipta adalah masalah siapa yang menduduki dan menjadi pemimpin di atasn  kehidupan lingkungan ini tiada lain yakni manusia. Kalau lingkungan mau stabil berarti manusia harus bisa menata kembali tatanannya dengan cara mendidik individu-individu manusianya agar dapat mengelola lingkungannya. Lingkungan dan Kependudukan  bisa selaras apabila satu sama lain bisa seimbang.



Semoga Bermanfaat !!!
Terimakasih Kunjungan nya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar