BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Lingkungan
Hidup di Indonesia menyangkut tanah, air, dan udara dalam wilayah negara
Republik Indonesia. Semua media lingkungan hidup tersebut merupakan wadah
tempat kita tinggal, hidup serta bernafas. Media lingkungan hidup yang sehat,
akan melahirkan generasi manusia Indonesia saat ini serta generasi akan datang
yang sehat dan dinamis.
Pembangunan
industri, eksploitasi hutan serta sibuk dan padatnya arus lalu lintas akibat
pembangunan yang terus berkembang, memberikan dampak samping. Dampak samping
tersebut berakibat pada tanah yang kita tinggali, air yang kita gunakan untuk
kebutuhan hidup maupun udara yang kita hirup. Apabila tanah, air dan udara
tersebut pada akhirnya tidak dapat lagi menyediakan suatu iklim atau keadaan
yang layak untuk kita gunakan, maka pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup
telah terjadi.
Pencemaran
lingkungan hidup, bukan hanya akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat
yang ada sekarang namun juga akan mengancam kelangsungan hidup anak cucu kita
kelak. Oleh karena itu baik masyarakat, maupun pemerintah berhak dan wajib
untuk melindungi lingkungan hidup.
UU
Lingkungan Hidup No. 23 tahun 1997 adalah suatu produk pemerintah untuk menjaga
kelestarian lingkungan hidup sekaligus memberi perlindungan hukum bagi
masyarakat agar selalu dapat terus hidup dalam lingkungan hidup yang sehat.
Upaya
pemulihan lingkungan hidup dapat dipenuhi dalam kerangka penanganan sengketa
lingkungan melalui penegakkan hukum lingkungan, dan dalm penegakan hokum
lingkungan ada istilah tanggung jawab mutlak atau strict liability bagi pelaku
pencemaran lingkungan dengan ketentuan tertentu.
B. Identifikasi
Masalah
Bagaimana pelaksanaan prinsip
tanggung jawab mutlak strict liability
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum
Lingkungan merupakan
terjemahan dari beberapa istilah, yaitu "Environmental Law"
dalam Bahasa Inggris, "Millieeurecht" dalam Bahasa Belanda,
"Lenvironnement" dalam Bahasa Prancis, "Umweltrecht"
dalam Bahasa Jerman, "Hukum Alam Seputar" dalam Bahasa Malaysia,
"Batas nan Kapaligiran" dalam Bahasa Tagalog, "Sin-ved-lom
Kwahm" dalam Bahasa Thailand, "Qomum al-Biah" dalam
Bahasa Arab.
Banyaknya
aliran dalam bidang hukum telah mengakibatkan banyak pengertian tentang hukum
yang berbeda-beda. Oleh karenanya, untuk dapat menyamakan persepsi dalam
membahas tentang pengertian hukum lingkungan, maka perlu disampaikan
terlebih dahulu bahwa pada umumnya hukum itu adalah keseluruhan kumpulan
peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama.
Mengutip
dari Gatot P. Soemartono yang menyebutkan bahwa Pengertian hukum
itu adalah keseluruhan peraturan tentang tingkah laku manusia yang isinya tentang
apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan dalam kehidupan
bermasyarakat, yg pelaksanaan peraturan tersebut dapat dipaksakan dengan suatu
sanksi oleh pihak yang berwenang. Dari uraian diatas mengenai pengertian hukum,
jadi Pengertian Hukum Lingkungan ialah keseluruhan peraturan yang
mengatur tentang tingkah laku orang tentang apa yang seharusnya dilakukan
terhadap lingkungan, yg pelaksanaan peraturan tersebut dapat dipaksakan dengan
suatu sanksi oleh pihak yang berwenang.
Sedangkan
menurut Danusaputro Pengertian Hukum Lingkungan adalah hukum
yang mendasari penyelenggaraan perlindungan dan tata pengelolaan serta
peningkatan ketahanan lingkungan. Beliaulah yg membedakan antara hukum
lingkungan modern yang berorientasi kepada lingkungan atau environment
oriented law dan hukum lingkungan klasik yang berorientasi kepada
penggunaan lingkungan atau use-ori-entedlaw.
Hukum lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma guna menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin, & dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya. Sebalikny, hukum lingkungan modern membicarakan ketentuan dan norma-norma guna mengatur perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi menjamin kelestarianya, agar dapat langsung scara terus-menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi-generasi mendatang.
Karena
hukum lingkungan modern berorientasi kpada lingkungan, sehingga sifat
& wataknya juga mengikuti sifat dan watak dari lingkungan sendiri, serta
dengan demikian lebih banyak yang berguru pada ekologi. Dengan orientasi kpada
lingkungan ini, kemudian hukum lingkungan modern memiliki sifat utuh
mnyeluruh, artinya selalu berada dalam dinamika dengan sifat & wataknya.
Sebalikny hukum lingkungan klasik bersifat sektoral dan sukar berubah.
Sebagai
disiplin ilmu hukum yg sedang berkembang, sebagian besar materi hukum
lingkungan merupakan bagian dari hukum administrasi, namun hukum
lingkungan mengandung pula aspek hukum perdata, pidana, pajak,
internasional dan penataan ruang.
Hukum
lingkungan dikenal
sebagai hukum gangguan (hinderrecht) yang bersifat sederhana dan
mengandung aspek keperdataan. Lambat laun perkembanagannya bergeser ke arah
bidang hukum administrasi, sesuai dengan peningkatan dalam masyarakat yang
semakin komplek saja. Dari segi hukum lingkungan administrasi terutama
muncul apabila keputusan penguasa yang bersifat kebijaksanaan dituangkan dalam
bentuk penetapan (beschikking), contoh kasus hukum lingkungan :
dalam prosedur perijinan, penentuan kualitas lingkungan, prosedur analisis yg
mengenai dampak lingkungan dan sebagainya.
DASAR HUKUM LINGKUNGAN
Kepentingan Nasional adalah suatu
cita-cita, sasaran yang bersifat umum dan abadi yang digunakan sebagai landasan
suatu bangsa untuk bertindak. Dalam kaitan dengan pengelolaan hukum lingkungan,
maka kepentingan nasional tercantum dalam pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945, yakni :
(2) Cabang-cabang produksi yang
penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh Negara.
(3) Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat dalam pengelolaan cabang-cabang produksi, bumi, air dan kekayaan alam
oleh Negara maka diperlukan strategi pengelolaan lingkungan tersebut agar tidak
memberikan dampak terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup sehingga
kelestarian lingkungan hidup tetap terjadi untuk kepentingan generasi saat ini
dan masa depan.
Hak Negara untuk mengatur kekayaan
Negara yang terkandung didalamnya ini
dijabarkan dalam UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup ( UULH ) sebagaimana diubah dengan UU No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup ( UUPLH ) dan diubah lagi dengan UU No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Hukum Acara Lingkungan adalah hukum
yang menetapkan dan mengatur tata cara atau prosedur pelaksanaan hak dan
kewajiban yang timbul karena adanya perkara lingkungan ( sebagai akibat
terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan ). Didalam UU No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan dalam BAB
XII Pasal 84 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 85 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 86
ayat (1), (2) dan (3), Pasal 87 ayat (1), (2), (3) dan (4), yang pengaturannya secara
konkrit akan ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan perundang undangan.
Hukum Perdata Lingkungan merupakan
hukum antar perorangan yang merupakan hak dan kewajiban orang satu terhadap
yang lain, maupun kepada Negara, khususnya dalam peran sertanya bagi
pelestarian kemampuan lingkungan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur didalam BAB X tentang Hak,
Kewajiban dan Larangan Pasal 65 Ayat
(1), (2), (3), (4), (5) dan (6), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69 ayat
(1) dan (2), dan BAB XI tentang Peran Masyarakat Pasal 70 ayat (1), (2) dan
(3).
Hukum Pidana Lingkungan menentukan
perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dalam kaitannya dengan Lingkungan Hidup,
siapa sajakah yang dapat dipidana dan menetapkan sanksi-sanksi tentang
pelanggaranya. Didalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur dalam BAB XV tentang Ketentuan Pidana yaitu
Pasal 97, Pasal 98 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 99 ayat (1), (2) dan (3), Pasal
100 ayat (1) dan (2), Pasal 100 ayat (1) dan (2), Pasal 101, Pasal 102, Pasal
103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 109, Pasal
110, Pasal 111 ayat (1) dan (2), Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115,
Pasal 116 ayat (1) dan (2), Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120 ayat (1)
dan (2).
Untuk menjamin pelestarian fungsi
lingkungan hidup, setiap Perusahaan yang bergerak dalam berbagai bidang
kegiatan, diwajibkan melakukan hal-hal berikut ini.
a. Perusahaan wajib memiliki Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup ( Pasal 22 ayat (1),dan (2), Pasal 23 ayat (1)
dan (2), Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26 ayat (1), (2), (3) dan (4), Pasal 27,
Pasal 28 (1), (2), (3) dan (4), Pasal 29 ayat (1),
(2) dan (3), Pasal 30 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 31, Pasal
32 (1), (2) dan (3) dan pasal 33 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup ). Analisis mengenai dampak lingkungan hidup
adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan / atau kegiatan
yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaran usaha dan atau kegiatan
6
( Pasal 1 angka 11 UU
No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ).
Hal-hal yang dianalisis meliputi:
1) Iklim dan Kualitas Udara.
2) Fisiologi dan Geologi.
3) Hidrologi dan kualitas air.
4) Ruang, lahan dan tanah.
5) Flora dan Fauna.
6) Sosial ( Demografi, Ekonomi, Sosial Budaya ) dan Kesehatan
Masyarakat.
b. Setiap
usaha dan / atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib Amdal, wajib
memiliki Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan
Hidup yang disebut UKL-UPL ( Pasal 34 ayat (1) dan (2), Pasal 35 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ).
c. Perusahaan
wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun. Pengelolaan bahan
berbahaya dan beracun meliputi: Menghasilkan, Mengangkut, Mengedarkan,
Menyimpan, Menggunakan dan atau Membuang BAB VII tentang Pengelolaan Bahan
Berbahaya dan Beracun serta Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun ( Pasal 58 ayat
(1) dan (2), Pasal 59 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6) dan (7) UU No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ).
Disamping kewajiban itu, perusahaan juga dilarang:
a. Melanggar Baku Mutu dan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan
Hidup ( Pasal 20 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5), Pasal 21 ayat (1), (2), (3)
dan (4) UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup ).
Adapun Peraturan-Peraturan yang
berkaitan dengan Hukum Lingkungan Indonesia antara lain adalah sebagai berikut:
1. UU No. 4 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang.
2. UU No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Alam Hayati dan Ekosistemnya.
3. UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara
4. UU No. 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan.
5. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi.
6. UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
7. PP No. 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
8. PP No. 4 Tahun 2001 tentang
Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran
Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.
9. PP No. 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara
10. Dan
masih banyak lagi peraturan yang berkaitan dengan Hukum Lingkungan.
AMDAL
AMDAL
adalah singkatan dari Analisis Dampak Lingkungan. Pengertian AMDAL menurut
PP No. 27 Tahun 1999 yang berbunyi bahwa pengertian AMDAL adalah Kajian
atas dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan. AMDAL adalah
analisis yang meliputi berbagai macam faktor seperti fisik, kimia, sosial
ekonomi, biologi dan sosial budaya yang dilakukan secara menyeluruh.
Alasan
diperlukannya AMDAL
untuk diperlukannya studi kelayakan karena dalam undang-undang dan peraturan
pemerintah serta menjaga lingkungan dari operasi proyek kegiatan industri atau
kegiatan-kegiatan yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
Komponen-komponen AMDAL adalah PIL (Penyajian informasi lingkungan), KA
(Kerangka Acuan), ANDAL (Analisis dampak lingkungan), RPL ( Rencana pemantauan
lingkungan), RKL (Rencana pengelolaan lingkungan). Tujuan AMDAL
adalah menjaga dengan kemungkinan dampak dari suatu rencana usaha atau kegiatan
sehingga.
Tujuan
AMDAL merupakan penjagaan dalam rencana usaha atau kegiatan agar tidak
memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Adapun Fungsi AMDAL adalah
sebagai berikut..
- Bahan perencanaan pembangunan wilayah
- Membantu proses dalam pengambilan keputusan terhadap kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan
- Memberikan masukan dalam penyusunan rancangan rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan
- Memberi masukan dalam penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
- Memberikan informasi terhadap masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan
- Tahap pertama dari rekomendasi tentang izin usaha
- Merupakan Scientific Document dan Legal Document
- Izin Kelayakan Lingkungan
Dilihat
dari fungsi AMDAL yang sangat menjaga rencana usaha dan/atau kegiatan usaha
sehingga tidak merusak lingkungan, maka terlihat begitu besar Manfaat AMDAL. Manfaat
AMDAL antara lain sebagai berikut...
1.
Manfaat AMDAL bagi Pemerintah
- Mencegah dari pencemaran dan kerusakan lingkungan.
- Menghindarkan konflik dengan masyarakat.
- Menjaga agar pembangunan sesuai terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan.
- Perwujudan tanggung jawab pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup.
2.
Manfaat AMDAL bagi Pemrakarsa.
- Menjamin adanya keberlangsungan usaha.
- Menjadi referensi untuk peminjaman kredit.
- Interaksi saling menguntungkan dengan masyarakat sekitar untuk bukti ketaatan hukum.
3.
Manfaat AMDAL bagi Masyarakat
- Mengetahui sejak dari awal dampak dari suatu kegiatan.
- Melaksanakan dan menjalankan kontrol.
- Terlibat pada proses pengambilan keputusan.
AZAS HUKUM LINGKUNGAN
Asas-asas hukum lingkungan Indonesia
:
a.
Tanggung jawab Negara : Negara
menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat sebesar-besarnya
bagi kesejahteraan dan mutu hidup masyarakat baik generaasi masa kini ataupun
masa depan
b. Kelestarian dan keberlanjutan :
setiap orang memilki kewajiban dalam melestarikan lingkungan hidup yang ada
c.
Keserasian dan keseimbangan :
pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan segala aspek dalam EKOSOSBUD
dan perlindungan serta pelestarian ekosistem
d. Keterpaduan : perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagia unsure atau
menyinergikan berbagai komponen daerah
e. Manfaat : segala usaha atau kegiatan
pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan
lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia
selaras dengan lingkungannya
f.
Kehati-hatian : ketidakpastian
mengenai dampak suatu usaha dan atau kegiatan karena keterbatasan penguasa ilmu
pengetahuan dan teknologi bukan alasan untuk menunda langkah-langkah
meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan
g.
Keadilan : perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara prposional bagi
setiap warga Negara ,baik lintas daerah,lintas generasi,maupun lintas gender.
h. Ekoregion : perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya
alam,ekosistem,kondisi geografis,budaya masyarakat setempat dan kearifan lokal
i.
Keanekaragaman hayati : perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu untuk
mempertahankan keberadaan,keragaman,dan keberlanjutan sumber daya alam hayati
yang terdiriatas sumber daya alam nabati dan hewani dengan unsur non hayati di
sekitarnya.
j.
Pencemar membayar : bagi pencemar
wajib menaggung biata pemuliihan lingkungan
k.
Partisipatif : setiap anggota
masyarakat didrorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan
dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,baik secara
langsung maupun tidak langsung
l.
Kearifan local : perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku
dalam tata kehidupan masyarakat
m. Tata kelola pemerintahan yang baik :
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip
partisipasi,transparansi,akuntabilitas,efisiensi,dan keadilan
n. Otonomi daerah : pemerintah dan
pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri terhadap perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai NKRI.
Penegakan
Hukum Lingkungan
Pembangunan
disamping memberikan dampak positif berupa kesejahteraan, namun disisi yang
lain juga menimbulkan dampak negatif yaitu terjadinya kerusakan atau
tercemarnya lingkungan hidup. Gagasan hukum pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup menjadi kata kunci (key word) dalam pengelolaan
lingkungan hidup yang mengintegrasikan pertimbangan lingkungan hidup dalam
proses pembangunan. Oleh karena itu, apabila terjadi penurunan fungsi
lingkungan hidup akibat perusakan dan/atau pencemaran lingkugan hidup, maka
serangkain kegiatan penegakan hukum (law enforcement) harus dilakukan, dengan
tujuan tidak hanya sekedar menjatuhkan sanksi kepada perusak atau pencemar
lingkungan, tetapi tujuan yang paling pokoknya dalah untuk memulihkankemampuan
lingkungan hidup tersebut dan berupaya meningkat-kan kuaitasnya.
Upaya
pemulihan lingkungan hidup dapat dipenuhi dalam kerangka penanganan sengketa
lingkungan melalui penegakkan hukum lingkungan. Penegakan hukum lingkungan
merupakan bagian dari siklus pengaturan (regulatory chain) perencanaan
kebijakan (policy planning) tentang lingkungan. Penegakan hukum lingkungan di
Indonesia mencakup penataan dan penindakan (compliance and enforcement) yang
meliputi bidang hukum administrasi negara, bidang hukum perdata dan bidang
hukum pidana.
1. Penegakkan hukum lingkungan administratif, dimulai dengan mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh MENLH/pejabat
yang ditunjuk MENLH, atau oleh Kepala Daerah/pejabat yang ditunjuk Kepala
Daerah terhadap penaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup seperti persyaratan
izin, BML dll, sebagaimana hal ini diatur dalam Pasal 22-24 UUPLH. Ada beberapa
sanksi administrasi dalam Pasal 25-27 UUPLH yang dapat dijatuhkan kepada pelaku
usaha dan/atau kegiatan. Pertama, paksaan pemerintahan (bestuursdwang) untuk
mencegah dan mengakiri terjadinya pelanggaran, atas beban biaya penanggungjawab
usaha dan atau kegiatan yang wewenangnya ada pada Gubernur atau
Bupati/Walikota. Kedua, terhadap pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sanksi
pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan.
2. Penyelesaian secara perdata atas
gugatan ganti kerugian dan pemulihan lingkungan hidup, dapat ditempuh melalui
mekanisme ADR/diluar pengadilan) maupun di dalam pengadilan (Pasal 30 UUPLH)
oleh masyarakat secara perorangan atau melalui gugatan perwakilan (class
action), dan NGO serta instansi pemerintah yang bertanggungjawab dibidang
pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 34, 35, 37 dan 38 UUPLH) untuk mewakili
kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup atas ganti kerugian dan pemulihan
lingkungan hidup. Terdapat perbedaan mendasar antara penyelesaian secara
perdata yang terdapat dalam Pasal 34 dan 35 UUPLH. Pasal 34 ayat (1) UULH-97
menentukan dua kategori perbuatan melanggar hukum yaitu pencemaran lingkungan
hidup (dalam arti turunnya kualitas lingkungan hidup: lihat Pasal 1 angka 12 UUPLH)
dan perusakan lingkungan hidup (dalam arti lingkungan hidup tidak berfungsi
lagi: lihat Pasal 1 angka 14 UUPLH), yang dapat menjadi alasan hukum untuk
menuntut ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu (memulihkan fungsi
lingkungan hidup) kepada penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan.
3. UUPLH menempatkan penerapan sanksi pidana sebagai upaya yang terakhir (ultimum remedium). Dalam penjelasan umum
UUPLH terkandung suatu prinsip yang dikenal yaitu primary jurisdiction atau
disebut sebagai asas subsidiaritas. Asas ini menegaskan bahwa hukum pidana baru
dapat digunakan apabila: a) sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi
administrasi dan sanksi perdata dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan
tidak efektif; b) tingkat kesalahan pelaku relatif berat; dan c) menimbulkan
keresahan masyarakat. Hal ini berarti bahwa sarana hukum lain harus
dioptimalkan terlebih dahulu, sebelum diambil tindakan secara pidana atau
diterapkannya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 40-47 UUPLH.
Pelaksanaan Prinsip
Tanggung Jawab Mutlak Strict Liability Pemerintah dan Masyarakat, Dalam
Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Apapun
sarana hukum yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa lingkungan, yang penting
ada dua hal yang perlu untuk dibuktikan. Pertama, adanya pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup dalam arti hukum (dalam hal ini perlu dilakukan
pengujian limbah terhadap ketentuan BML apakah masih berada dalam batas-batas
BML/tidak). Kedua, adanya hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup dengan penderitaan masyarakat dan/ atau rusaknya
kualitas lingkungan hidup.
Membuktikan
kedua hal tersebut tidaklah mudah. Diperlukan keterangan ahli dari berbagai
disipilin ilmu (lingkungan, biologi, kimia, medis, ekonomi, hukum dll), sampel
hukum dan laboratorium hukum. Keterlibatan para ahli akan sangat membantu untuk
proses pembuktian ilmiah (scientific evidence) dan untuk menghitung kerugian
masyarakat dan tingkat kerusakan/pencemaran lingkungan hidup, sehingga dapat ditentukan
berapa biaya yang harus ditanggung oleh penanggungjawab usaha/kegiatan untuk
mengganti kerugian masyarakat dan untuk memulihkan lingkungan hidup.
Pasal 34
tidak menunjuk kepada sistem pertanggungjawaban tertentu, maka untuk itu
kandungan Pasal 34 ini dapat dikaitkan dengan Pasal 1365 BW sebagai bentuk
pertanggungjawaban atas perbuatan melanggar hukum (onrechtsmatigedaad). Pasal
1365 BW ini menganut prinsip tanggungjawab berdasarkan kesalahan (liability
based on fault), tanpa adanya kesalahan, maka tidak akan timbul dasar untuk
menuntut kerugian (NHT.Siahaan:2004:310-311).
Beban
pembuktian untuk membuktikan adanya unsur kesalahan tersebut menurut Pasal 1865
BW merupakan kewajiban penggugat. Membuktikan adanya kesalahan tidaklah mudah,
bahkan lebih menyulitkan karena harus lebih dahulu dibuktikan adanya hubungan
sebab akibat (causality) antara perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup dengan kerugian dari si penderita.
Dibutuhkan
penjelasan yang bersifat ilmiah, teknis dan khusus untuk membuktikan hubungan
kausal tersebut. Sehingga penerapan sistem pertanggungjawaban yang bersifat
biasa tidaklah mencerminkan rasa keadilan. Kelemahan Pasal 34 tersebut,
sebenarnya dapat diatasi dengan menerapkan ketentuan Pasal 35 ayat (1) UUPLH
yang mengatur tentang tanggungjawab mutlak (strict liability) atas kegiatan
yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup,
menggunakan B3 dan/ atau menghasilkan limbah B3.
Berdasarkan
Pasal 35 UUPLH tersebut, terdapat tiga kriteria bagi jenis kegiatan/usaha yang
tunduk pada prinsip tanggungjawab mutlak, yaitu jenis kegiatan yang wajib
Amdal, yang menggunakan B3 dan yang menghasilkan limbah B3 (Daud
Silalahi:2001:45). Dalam penjelasan Pasal 35 ayat (1) dinyatakan bahwa
tanggungjwab mutlak (strict liability) berarti unsur kesalahan tidak perlu
dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian
(liability without fault/tanggungjawab tanpa kesalahan) dan ketentuan pasal ini
merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada
umumnya didasarkan pada Pasal 1365 BW.
Hal ini
berarti pihak tergugatlah yang harus membuktikan adanya hubungan kausal antara
perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dengan kerugian yang
diderita oleh penggugat dan lingkungan hidup. Pasal 35 ayat (2) memberikan
pengecualian penerapan prinsip tanggungjawab mutlak bilamana dapat dibuktikan
bahwa pencemaran atau kerusakan lingkungan disebabkan oleh bencana alam atau
peperangan; atau adanya keadaan terpaksa diluar kemampuan manusia; atau akibat
tindakan pihak ketiga
Penanggung
jawab usaha dan atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak
besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang menggunakan bahan berbahaya
dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan
dengan kewajiban menbayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat
terjadinya pencemaran dan atau pengrusakan lingkungan hidup.penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan yang dapat dibebaskan dari kewajiban membayar
gantirugi, jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan atau
pencemaran lingkungan hidup disebabkan salahsatu alas an ialah adanya bencana
alam atau peperangan, adanya keadaan terpaksa diluar kemampuan manusia, atau
adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau
pengrusakan lingkungan hidup. Dalam hal terjadinya kerugian yang disebabkan
oleh pihak ketiga maka pihak ketiga tersebut bertanggung jawab membayar
gantirugi.
Pengertian
bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability yakni unsure kesalahan
tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran
gantikerugian. Ketentuan ini merupakan lex spesialis dalam gugatan tentang
perbuatan melanggar hokum pada umumnya. Besarnya nilai gantirugi yang dapat
dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup dapat ditetapkan
sampai batas tertentu. Yang dimaksud sampai batas tertentu adalah jika menurut
penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku ditentukan keharusan
asuransi bagi usaha dan atau egitan yangbersangkutanatau telah tersedian dana
lingkungan hidup
Pencemaran
lingkungan hidup yang diatur dalam pasal 1 ayat 12 UU no 23 tahun 1997 (
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya ) mempunyai
pengertian luas dan berusaha menjaring perbuatan-perbuatan yang merusak tatanan
lingkungan. Peraturan penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup apabila
akan diruangkan kedalam bentuk undang-undang cara pengaturannya harus
mengandung makna preventive dan revresif. Secara filsafat bahwa pengelolaan
lingkungan hidup itu supaya dapat dinikmati oleh manusia pada generasi masa
kini dan masa depan, maka ketentuan perlindungan terhadap masalah lingkungan
hidup termasuk pula mencakup perlindungan korban dari pencemaranatau perusakan
lingkungan
Berdasarkan
pasal 34 tentang ganti rugi, dan pasal 35 tentang tanggung jawab mutlak pada UU
no 23 tahun 1997, mencakup dua segi perlindungan, yaitu:
1. Perlindungan korban yang
diderita perorangan
2. Perlindungan terhadap
Negara yang menjadi korban pencemaran atau pengrusakan lingkungan hidup.
Ganti rugi terhadap korban
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Gantirugi yang diberikan
kepada korban yang dibayar oleh pihak yang menyelenggarakan usaha dan kegiatan
lingkungan tersebut.
2. Ganti rugi yang diberikan
kepada Negara dalam ujud melakukan tindakan hukum tertentu sesuai dengan perintah hokum yang ditetapkan oleh hakim.
Bentuk dan
jenis kerugian akibat pengrusakan dan pencemaran akan menentukan besarnya
kerugian dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh pemerintah. Masalah gantirugi
dengan melalui penelitian yang menyangkut aspek budaya, tentunya dapat masuk
dalam ruang lingkup ganti rugi menurut hokum adat setempat. Hal ini mendasari
adanya putusan Mahkamah Agung RI tanggal 22 November1958 (Reg. No.212 K/S.i.p/1958)
yang memutuskan ganti rugi menurut hokum adat (DPM.Sitompul, 1989:35)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Prinsip
pertanggungjawaban mutlak (strict Liability) merupakan prinsip pertanggung
jawaban hukum (liability) yang telah berkembang sejak lama yang berawal dari
sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam kasus ini
Pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang menentukan,
bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability
jika penggunaan tersebut bersifat non natural atau di luar kelaziman, atau
tidak seperti biasanya.
Pertanggung
jawaban hukum konvensional selama ini menganut asas pertanggung jawaban
erdasarkan kesalahan (liability based on fault), artinya bahwa tidak seorangpun
dapat dikenai tanggung jawab jika pada dirinya tidak terdapat unsur-unsur
kesalahan. Dalam kasus lingkungan dokrin tersebut akan melahirkan kendala
bagi hukum dipengadilan karena dokrin
ini tidak mampu mengantisipasi secara efektif dampak dari kegiatan industri
modern yang mengandung resiko-resiko potensial.
Pertanggung
jawaban mutlak pada awalnya berkembang dinegara-negara yang menganut sistem
hukum anglo saxon atau common law, walaupun kemudian mengalami perubahan
perkembangan dibeberapa negara untuk mengadopsinya.
Beberapa
negara yang menganut asas ini antara lain Inggris, Amerika, Belanda, Thailand.
Di Indonesia asas ini dimuat dalam Pasal 35 UU No.23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal ini pengertian tanggungjawab
mutlak/strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh
pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Dimana besarnya ganti
kerugian yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup
menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
Saran
Pada
dasarnya kehidupan ini selaras seimbang antara segala sesuatu yang ada
didalamnya, yaitu makhluk hidup ada manusia, hewan dan tumbuhan, dan semua
benda mati yang dapat dimanfaatkan dan mempunyai peran dalam kehidupan ini.
Yang membuat lingkungan rusak dan tidak tertata lagi selain sang pencipta
adalah masalah siapa yang menduduki dan menjadi pemimpin di atasn
kehidupan lingkungan ini tiada lain yakni manusia. Kalau lingkungan mau stabil
berarti manusia harus bisa menata kembali tatanannya dengan cara mendidik
individu-individu manusianya agar dapat mengelola lingkungannya. Lingkungan dan
Kependudukan bisa selaras apabila satu sama lain bisa seimbang.
Semoga Bermanfaat !!!
Terimakasih Kunjungan nya :)
Terimakasih Kunjungan nya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar